The Significance of the UPR in the Absence of a Regional Human Rights System
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
The Significance of the UPR in the Absence of a Regional Human Rights System
Universal Periodic Review (UPR) menghadapi tantangan dalam mencapai keseragaman di antara 193 negara anggota PBB yang memiliki pemahaman serta tantangan hak asasi manusia yang berbeda. Studi tentang UPR umumnya bersifat global, tematik, atau spesifik pada suatu negara, sementara analisis regional masih terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan manfaat pendekatan regional, seperti studi tentang UPR di Afrika dan Asia Tenggara. Kawasan Asia-Pasifik, yang mencakup negara-negara dengan sistem hukum dan politik berbeda, menjadi fokus analisis untuk memahami bagaimana UPR berfungsi di wilayah yang tidak memiliki kerangka hak asasi manusia regional.
Banyak studi UPR didominasi perspektif Barat, sejalan dengan kritik Third World Approaches to International Law (TWAIL) yang menyoroti bias Barat dalam hukum internasional. Beberapa ahli menilai hukum hak asasi manusia internasional cenderung mempertahankan status quo daripada memberdayakan masyarakat adat atau negara-negara non-Barat. Studi empiris menunjukkan bahwa keterlibatan negara dalam UPR sering kali bersifat ritualistik, yang dapat melemahkan efektivitasnya, tetapi dalam beberapa kasus dapat berkembang menjadi kepatuhan yang lebih substansial. Pemahaman tentang bagaimana negara-negara merespons UPR menjadi penting dalam menilai dampak serta efektivitas mekanisme ini dalam mendorong perubahan kebijakan hak asasi manusia.
Regional Context and the UPR
Kawasan Asia-Pasifik memiliki keberagaman budaya, sejarah, bahasa, agama, dan ekonomi yang luas. Tidak seperti kawasan lain yang memiliki kesamaan sejarah dan ekonomi yang lebih erat, kawasan ini tidak memiliki mekanisme perlindungan hak asasi manusia yang kuat seperti di Eropa. Meskipun terdapat kerja sama regional seperti Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN dan Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia, efektivitasnya sering dipertanyakan karena bergantung pada konsensus negara-negara anggotanya serta tidak memiliki mekanisme peradilan atau pengaduan. Ketimpangan antara tujuan deklaratif dan realitas di lapangan juga menjadi tantangan besar dalam penerapan hak asasi manusia di kawasan ini.
Negara-negara di Asia-Pasifik menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan Universal Periodic Review (UPR), seperti keterbatasan finansial yang memengaruhi partisipasi negara-negara kepulauan Pasifik. Di beberapa negara seperti Vietnam, permasalahan mencakup kebijakan hak asasi manusia yang belum berkembang, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, serta kurangnya koordinasi antar-lembaga negara dalam melaksanakan UPR. Selain itu, ruang bagi masyarakat sipil semakin menyempit karena adanya pembatasan kebebasan berserikat dan berekspresi. Dalam mekanisme UPR, negara-negara Asia cenderung lebih menekankan rekomendasi pada hak ekonomi dan sosial dibanding hak sipil dan politik, yang dianggap lebih mudah diterima secara politik. Pendekatan ASEAN terhadap hak asasi manusia juga tidak seragam, menunjukkan dinamika yang kompleks dalam penerapan nilai-nilai hak asasi manusia di kawasan ini.
UPR Asia Pacific Case Studies
Australia
Australia merupakan satu-satunya negara demokrasi liberal Barat yang tidak memiliki undang-undang atau konstitusi khusus mengenai hak asasi manusia. Ketiadaan ini, ditambah dengan tidak adanya mekanisme regional yang kuat, membuat Universal Periodic Review (UPR) memiliki peran yang paradoksal. Di satu sisi, UPR menjadi penting sebagai mekanisme akuntabilitas hak asasi manusia, dan Australia menunjukkan komitmen terhadap proses ini. Namun, di sisi lain, efektivitasnya terbatas karena kewajiban internasional yang dimiliki Australia hanya sedikit memengaruhi pembuatan hukum domestik, sementara rekomendasi dari negara lain sering kali diabaikan jika tidak selaras dengan prioritas politiknya.
Domestic Context
Perlindungan hak asasi manusia di Australia bersifat tidak merata karena tidak ada undang-undang nasional yang secara khusus mengaturnya. Sebagai negara federasi, hukum terkait hak asasi manusia berbeda di setiap yurisdiksi. Tiga dari delapan negara bagian dan teritori memiliki undang-undang hak asasi manusia yang berfokus pada hak sipil dan politik. Selain itu, terdapat undang-undang yang mengadopsi kewajiban internasional dalam konteks larangan diskriminasi. Berbagai strategi digunakan untuk mengimplementasikan rekomendasi UPR, termasuk koordinasi antar tingkat pemerintahan, asosiasi lembaga hak asasi manusia, serta platform digital untuk pemantauan data.
Konsultasi nasional tentang hak asasi manusia dilakukan pada 2008–2009, yang merekomendasikan pengesahan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, tetapi tidak diadopsi. Sebagai gantinya, Undang-Undang Pemeriksaan Hak Asasi Manusia 2011 disahkan untuk meninjau kesesuaian rancangan undang-undang dengan kewajiban hak asasi manusia, meskipun rekomendasinya dapat diabaikan. Pada Maret 2023, komite parlemen mengumumkan penyelidikan baru terkait kerangka hak asasi manusia Australia, termasuk kemungkinan pengesahan Undang-Undang Hak Asasi Manusia di tingkat federal. Australia kerap mendapat kritik internasional terkait pelanggaran hak-hak masyarakat adat, kebijakan penahanan wajib bagi pencari suaka berdasarkan cara kedatangan, serta hak anak, terutama terkait anak-anak dalam tahanan.
Engagement With IHRL
Australia merupakan pihak dalam tujuh dari sembilan perjanjian inti hak asasi manusia, termasuk ICCPR, ICESCR, ICERD, CEDAW, CAT, CRC, dan CRPD, serta menyetujui tujuh dari sembilan protokol opsional terkait. Selain itu, Australia juga terlibat dalam mekanisme pengaduan untuk lima perjanjian, khususnya yang berkaitan dengan hak sipil dan politik, penyiksaan, diskriminasi rasial, diskriminasi terhadap perempuan, serta hak penyandang disabilitas. Seperti banyak negara lain, Australia menyampaikan laporan kepada badan perjanjian hak asasi manusia, meskipun tidak selalu tepat waktu.
Pada periode 2018–2020, Australia menjalani masa jabatan pertamanya sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HRC). Dalam pencalonannya pada 2017, Australia mengajukan janji sukarela dalam lima pilar utama, yaitu memperjuangkan hak perempuan dan anak perempuan, mendorong tata kelola yang baik dan institusi demokratis yang lebih kuat, melindungi kebebasan berekspresi, memajukan hak masyarakat adat secara global, serta memperkuat institusi hak asasi manusia nasional dan pengembangan kapasitas.
UPR Data on Australia’s Performance
Sejak Siklus 2, Australia memberikan rekomendasi kepada semua negara dalam mekanisme UPR, dengan total 1.490 rekomendasi hingga saat ini. Fokus utama rekomendasi mencakup instrumen internasional, hak perempuan, hak anak, hukuman mati, dan keadilan. Namun, Australia jarang menyoroti isu yang paling banyak dikritik dalam negeri, yaitu hak masyarakat adat serta hak pengungsi dan pencari suaka. Sikap ini mencerminkan kebijakan luar negeri Australia yang tidak selaras dengan komitmennya untuk mempromosikan hak masyarakat adat secara global.
Australia telah menerima 795 rekomendasi dari negara lain dalam tiga siklus UPR, dengan jumlah yang terus meningkat di setiap siklus. Tema utama dalam rekomendasi yang diterima mencakup hak masyarakat adat, instrumen internasional, hak anak, hak migran, dan kebijakan penahanan. Meskipun Australia menerima kritik internasional yang konsisten dalam isu-isu ini, respons pemerintah tetap terbatas dan selektif.
Dari seluruh rekomendasi yang diterima, Australia hanya mendukung 471 rekomendasi dan mencatat 324 lainnya tanpa berkomitmen untuk menindaklanjutinya. Pada Siklus 1, tingkat penerimaan mencapai 88,9%, tetapi menurun drastis menjadi sekitar 51% pada Siklus 2 dan 3, seiring meningkatnya kritik dari LSM dan Komisi Hak Asasi Manusia Australia. Australia lebih cenderung menerima rekomendasi terkait hak masyarakat adat, hak perempuan, dan diskriminasi rasial, tetapi menolak sebagian besar rekomendasi mengenai migran, pencari suaka, dan kebijakan penahanan.
Dalam implementasi rekomendasi, Australia melaporkan dukungannya terhadap Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) dan mengalokasikan dana untuk program pengembangan masyarakat adat. Namun, dalam isu pencari suaka, kebijakan penahanan ketat tetap dipertahankan dengan justifikasi pengelolaan perbatasan. Australia juga mencatat langkah-langkah seperti pembentukan Kantor Nasional untuk Keamanan Anak dan investigasi terhadap perlindungan anak di Wilayah Utara. Namun, secara keseluruhan, respons Australia terhadap rekomendasi UPR lebih banyak berfokus pada mempertahankan kebijakan yang ada daripada melakukan reformasi nyata.
Thailand
Siklus UPR Thailand menunjukkan tantangan serius dalam perlindungan hak asasi manusia akibat ketidakstabilan politik. Sebelum UPR pertama, militer menindak protes pro-demokrasi 2010 yang menewaskan lebih dari 90 orang. Setelah Pemilu 2011, kudeta militer 2014 menggulingkan pemerintahan Yingluck Shinawatra, diikuti oleh lebih dari 500 perintah NCPO yang membatasi kebebasan politik, pers, peradilan, dan pengelolaan sumber daya alam. UPR ketiga pada 2021 berlangsung di tengah protes besar menuntut reformasi monarki dan pemerintahan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha.
Domestic Context
Selama tiga siklus UPR, PBB dan berbagai pihak menyoroti kurangnya transparansi dan independensi dalam seleksi anggota NHRCT. Isu utama mencakup pelanggaran hak minoritas Muslim Melayu di Thailand selatan, pembatasan hak sipil dan politik, serta pembungkaman kebebasan berekspresi. Pasal 112 dan 116 KUHP sering digunakan untuk menindak kritik terhadap monarki dan membungkam oposisi. Selain itu, Undang-Undang Kejahatan Siber memungkinkan kriminalisasi jurnalis dan kritik daring, serta memberikan wewenang bagi pemerintah untuk menghapus konten dan memblokir situs yang dianggap mengancam stabilitas.
Engagement With IHRL
Thailand telah meratifikasi tujuh dari sembilan perjanjian inti HAM, termasuk di antara yang tertinggi di Asia Tenggara, namun memiliki reservasi terhadap istilah seperti "penyiksaan" dan isu budaya sensitif seperti pernikahan dan pengungsi. Thailand menerima mekanisme pengaduan individu di bawah CEDAW, CRPD, dan CRC, tetapi tidak untuk ICCPR, ICERD, dan ICESCR. Pernah menjadi anggota HRC (2010–2013), Thailand gagal dalam pencalonan 2015–2017 dan kembali mencalonkan diri untuk 2025–2027. Sejak 2011, pemerintah mengundang prosedur khusus HRC, dengan beberapa kunjungan dalam lima tahun terakhir, terutama oleh Pelapor Khusus untuk Myanmar. Namun, sejak 2019, Thailand tidak menanggapi permintaan kunjungan terkait kebebasan berkumpul, perbudakan, hak masyarakat adat, orientasi seksual, dan penghilangan paksa.
UPR Data on Thailand’s Performance
Thailand secara konsisten memberikan rekomendasi UPR yang berfokus pada hak perempuan, instrumen internasional, hak anak, penyiksaan, dan penahanan. Namun, dalam menerima rekomendasi, Thailand sering dikritik karena belum meratifikasi instrumen HAM utama seperti Konvensi tentang Penghilangan Paksa dan Konvensi Menentang Penyiksaan. Rekomendasi yang diterima juga banyak berkaitan dengan perlindungan hak anak, termasuk kesejahteraan dan perlindungan terhadap eksploitasi. Selain itu, rekomendasi mengenai keadilan menyoroti penggunaan pengadilan militer, hukuman mati, serta praktik penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Dalam Siklus 1, Thailand menerima 100 dari 172 rekomendasi, tetapi tetap mempertahankan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, dengan alasan perlindungan monarki sebagai bagian dari identitas nasional. Pada Siklus 2, Thailand menerima 181 dari 249 rekomendasi, tetapi tetap mempertahankan narasi bahwa kebebasan berekspresi harus dikontrol untuk menjaga ketertiban sosial. Pemerintah menyatakan komitmen untuk menyelidiki kasus penyiksaan, mempertimbangkan penghapusan hukuman mati, serta meningkatkan perlindungan terhadap kekerasan berbasis gender. Pada Siklus 3, Thailand menerima 218 dari 278 rekomendasi tetapi tetap menolak mengubah hukum yang membatasi kebebasan berekspresi, seperti Pasal 112 (lèse-majesté) dan Pasal 116 (hasutan). Pemerintah juga tetap mempertahankan Undang-Undang Kejahatan Komputer, yang digunakan untuk mengkriminalisasi kritik terhadap pemerintah dan monarki. Aktivis yang menyerukan reformasi monarki terus ditangkap dan diadili, menunjukkan ketidaksiapan Thailand untuk melakukan perubahan hukum yang lebih progresif sesuai standar HAM internasional.
Meskipun Thailand telah meningkatkan tingkat penerimaan rekomendasi dari 58% di Siklus 1 menjadi 78% di Siklus 3, implementasinya tetap lemah. Pemerintah menunda perubahan hukum dengan alasan stabilitas nasional dan kepentingan publik. Namun, terdapat perkembangan positif dalam upaya Thailand meratifikasi Konvensi Internasional tentang Penghilangan Paksa dan mempertimbangkan revisi undang-undang terkait kebebasan berekspresi dan berkumpul. Meski demikian, upaya membatasi ruang masyarakat sipil terus berlanjut melalui RUU tentang Organisasi Nirlaba, yang dikritik karena berpotensi menghambat aktivitas LSM dan organisasi hak asasi manusia.
New Zealand
Meskipun aktif dalam proses UPR dan dipimpin langsung oleh Menteri Kehakiman, keterlibatan Selandia Baru sering kali bersifat seremonial tanpa komitmen nyata. Implementasi rekomendasi cenderung sporadis dan tidak terarah, menunjukkan kurangnya strategi dan kepemimpinan politik dalam hak asasi manusia. Seperti negara lain, antusiasme tinggi saat tinjauan berlangsung, tetapi melemah di antara siklus, dengan hasil implementasi yang minim. Ketiadaan mekanisme HAM regional turut berkontribusi pada lemahnya pengawasan eksternal, yang memperlebar kesenjangan antara komitmen internasional dan realisasi domestik.
Domestic Context
Selandia Baru adalah monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan Westminster dan tidak memiliki konstitusi tertulis, mengandalkan berbagai sumber hukum, termasuk Te Tiriti o Waitangi. Hak asasi manusia dilindungi melalui undang-undang biasa seperti BORA 1990 dan Human Rights Act 1993, tetapi pengadilan tidak dapat membatalkan undang-undang yang melanggar hak. Isu utama hak asasi manusia mencakup hak Māori, ketimpangan sosial-ekonomi, diskriminasi rasial, kekerasan terhadap perempuan, dan kemiskinan anak. Krisis biaya hidup serta tekanan pada hak kesehatan dan pendidikan akibat dampak COVID-19 juga menjadi perhatian.
Engagement With IHRL
Selandia Baru telah meratifikasi tujuh dari sembilan perjanjian inti hak asasi manusia dan delapan dari sembilan protokol opsional terkait, tetapi belum mengaksesi ICRMW dan Protokol Opsional ICESCR. Meskipun menerima empat mekanisme pengaduan individu, pengecualian terhadap ICERD menjadi celah signifikan terkait hak Māori, migran, dan minoritas. Selandia Baru belum pernah menjadi anggota HRC, meskipun aktif berpartisipasi, setelah menarik pencalonan pada 2009. Dengan banyak negara telah menjabat di HRC, ketidakhadiran Selandia Baru tampak kontradiktif dengan klaimnya sebagai pendukung hak asasi manusia global.
New Zealand and the UPR
Selandia Baru telah memberikan 597 rekomendasi dalam UPR, sebagian besar ditujukan kepada negara-negara Asia dan Pasifik, mencerminkan fokus regionalnya. Sejak 2019, kebijakan UPR Selandia Baru semakin selaras dengan Rencana Aksi Hak Asasi Manusia Internasionalnya, yang menyoroti hak penyandang disabilitas, kesetaraan gender, identitas gender, dan hukuman mati. Namun, rekomendasinya terhadap hak-hak masyarakat adat dan minoritas masih terbatas, mencerminkan tantangan domestiknya sendiri. Salah satu langkah menonjol adalah rekomendasi kepada Indonesia terkait pelanggaran hak asasi terhadap masyarakat adat Papua Barat.
Sebaliknya, rekomendasi yang diterima Selandia Baru dalam UPR terutama mencakup hak anak, hak perempuan, hak masyarakat adat, dan hak ketenagakerjaan. Kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan anak, serta ketimpangan sosial-ekonomi antara Māori, Pasifika, dan populasi lainnya menjadi perhatian utama. Masalah konstitusional, seperti ketiadaan konstitusi tertulis dan supremasi hukum hak asasi manusia, juga sering diangkat. Peristiwa besar seperti gempa Canterbury 2010–2011 dan serangan teroris Christchurch 2019 telah memengaruhi rekomendasi yang diberikan, mendorong diskusi tentang perlindungan hak asasi manusia.
Dalam hal penerimaan rekomendasi, Selandia Baru menerima sekitar 80 persen rekomendasi pada siklus UPR terakhir, sesuai dengan rata-rata global. Namun, banyak rekomendasi yang diterima dengan catatan seperti "mempertimbangkan" tanpa komitmen konkret, terutama terkait ratifikasi perjanjian hak asasi manusia tambahan. Beberapa rekomendasi ditolak dengan alasan prosedural, seperti perlunya persetujuan parlemen. Sikap ini terlihat dalam tanggapannya terhadap rekomendasi terkait pengakuan lebih kuat terhadap Te Tiriti o Waitangi, yang diterima tetapi tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.
Dalam implementasi, beberapa rekomendasi berdampak besar, seperti ratifikasi UNDRIP pada 2010, aksesi ke CRPD-OP pada 2016, dan CRC-OPCP pada 2022. Saat ini, pengembangan Rencana Aksi Nasional Melawan Rasisme menjadi prioritas, sebagai tanggapan terhadap serangan Christchurch dan rekomendasi UPR. Namun, pemantauan implementasi masih tidak terstruktur, dengan kurangnya pembaruan pada database rekomendasi. Sebagai gantinya, Selandia Baru kini mengadopsi laporan pertengahan siklus yang lebih komprehensif, menunjukkan transparansi yang lebih baik dalam proses UPR.
Fiji
UPR menjadi mekanisme penting bagi Fiji dalam menyoroti pelanggaran hak asasi manusia pasca-kudeta militer 2006, yang menyebabkan penghapusan konstitusi, pemecatan hakim, intimidasi media, dan pelemahan demokrasi. Upaya regional untuk menekan Fiji, termasuk sanksi dari Pacific Islands Forum, gagal mengembalikan tatanan konstitusional. Keluhan ke PBB tidak berhasil mengubah respons pemerintah militer terhadap memburuknya kondisi hak asasi manusia di negara tersebut.
Meskipun keterlibatan Fiji dalam UPR menunjukkan arah menuju perbaikan hak asasi manusia, banyak LSM meragukan implementasi nyata rekomendasi yang diberikan. Dalam tiga siklus UPR (2010, 2014, dan 2019), kebijakan hak asasi manusia Fiji tetap bergantung pada pemerintahan Bainimarama, dengan kombinasi kemajuan dan kemunduran dalam menjamin kebebasan sipil serta supremasi hukum.
Domestic Context
Pada UPR kedua, Fiji telah mengadopsi Konstitusi 2013 yang mencakup hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta menggelar pemilu demokratis pada 2014. Namun, proses pembentukan konstitusi dan beberapa pasalnya dikritik karena membatasi hak-hak tertentu melalui klausul yang memberi pemerintah kewenangan luas untuk membatasi kebebasan dengan alasan "kelayakan". Selain itu, isu hubungan ras dan etnis masih menjadi tantangan dalam masyarakat multi-etnis Fiji, yang sejak kudeta 1987 terus bergulat dengan politik identitas. Pasal 10 Konstitusi semakin menguatkan impunitas bagi pelaku kudeta 1987 dan 2006, sementara beberapa undang-undang seperti Public Order Act dan Media Industry Development Act dianggap membatasi kebebasan sipil dan politik.
UPR telah merekomendasikan Fiji untuk memastikan bahwa undang-undang yang ada tidak digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Pada siklus kedua, Italia dan Brasil meminta pemerintah menjamin kebebasan pers dan melindungi jurnalis serta kritik terhadap pemerintah. Pada siklus ketiga, Amerika Serikat dan Selandia Baru menyoroti pentingnya mencegah penyalahgunaan hukum pidana dan regulasi terkait kebebasan berbicara. Namun, pemerintah Fiji justru menunjukkan kecenderungan menggunakan dominasi parlemen untuk mengesahkan perubahan hukum tanpa konsultasi publik, yang menimbulkan kekhawatiran baru terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di negara tersebut.
Fiji’s Engagement With IHRL
Pada UPR pertama, Fiji hanya meratifikasi tiga perjanjian inti hak asasi manusia, namun berkomitmen untuk meratifikasi semuanya dalam sepuluh tahun dan berhasil menyelesaikannya pada 2020, menjadikannya satu-satunya negara Pasifik yang mencapai hal ini. Namun, pelaksanaan domestik dan pelaporan masih menjadi tantangan, dengan banyak laporan yang tertunda karena keterbatasan kapasitas dan sumber daya. Pada siklus ketiga, muncul rekomendasi untuk membentuk Mekanisme Nasional untuk Pelaporan dan Tindak Lanjut guna meningkatkan koordinasi implementasi dan pelaporan hak asasi manusia, tetapi ini belum terealisasi.
Fiji mengundang prosedur khusus PBB pada 2015 dan menerima kunjungan beberapa pelapor khusus, tetapi terutama dalam isu yang kurang kontroversial. Setelah kudeta 2006, banyak rekomendasi menyerukan kunjungan pakar mengenai independensi peradilan, penyiksaan, dan pembela hak asasi manusia, tetapi pemerintah sering tidak merespons permintaan ini. Dalam laporan UPR siklus ketiga, OHCHR merekomendasikan Fiji untuk menanggapi permintaan kunjungan tersebut. Pembukaan kedutaan Fiji di Jenewa pada 2014 telah meningkatkan keterlibatan Fiji dengan Dewan HAM PBB, termasuk menjabat sebagai Wakil Presiden (2019–2020) dan Presiden (2020–2021), menunjukkan upaya pemerintah memperbaiki citra hak asasi manusia pasca-kudeta 2006.
Fiji and the UPR
Fiji semakin aktif dalam mekanisme UPR sejak siklus pertama, dengan jumlah rekomendasi yang meningkat signifikan. Dari sekitar 240 rekomendasi yang diberikan kepada negara lain, sebagian besar berfokus pada hak-hak perempuan, lingkungan dan HAM, hak anak, hak penyandang disabilitas, serta kekerasan berbasis gender. Banyak rekomendasi bersifat umum, seperti mendukung layanan bagi korban kekerasan domestik di Kepulauan Marshall, sementara beberapa lebih spesifik, seperti mendorong Vanuatu memasukkan dampak perubahan iklim terhadap perempuan dalam kebijakan gendernya.
Sebaliknya, Fiji juga menerima banyak rekomendasi terkait instrumen internasional, hak-hak perempuan, hak anak, keadilan, serta penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi. Salah satu rekomendasi yang terus muncul adalah memastikan Komisi HAM dan Anti-Diskriminasi Fiji (FHRADC) sesuai dengan Prinsip Paris. Dari total 528 rekomendasi dalam tiga siklus UPR, Fiji mendukung 458, mencatat 70, dan membuat 13 janji sukarela, sebagian besar telah dipenuhi. Pada 2019, Fiji mendukung 17 rekomendasi terkait perubahan iklim, termasuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam kebijakan iklim dan memperkuat ketahanan masyarakat terhadap bencana alam.
Meski telah menerima banyak rekomendasi, implementasi masih menjadi tantangan bagi Fiji. Beberapa kemajuan dicapai, terutama dalam akses keadilan dan perlindungan lingkungan, tetapi masih ada hambatan dalam menjamin kepatuhan FHRADC terhadap Prinsip Paris. Salah satu pencapaian besar adalah pencabutan Undang-Undang Pengembangan Industri Media pada April 2023, yang sebelumnya mendapat 56 rekomendasi untuk dicabut atau direvisi dari tiga siklus UPR. Namun, masalah penyiksaan tetap mengkhawatirkan, terutama terkait budaya kekerasan oleh aparat keamanan.
Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan (CAT) dan penerapan prosedur jam pertama diakui sebagai kemajuan besar, dengan pelatihan HAM bagi kepolisian kini rutin dilakukan. Sistem bantuan hukum yang diperluas juga meningkatkan akses keadilan bagi masyarakat dengan alokasi anggaran yang lebih besar dan pembukaan kantor baru. Salah satu langkah penting lainnya adalah penghapusan hukuman mati pada 2015, sebagai bagian dari komitmen Fiji kepada PBB menjelang tinjauan HAM berikutnya.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar