REVIEW FILM "GURU BANGSA TJOKROAMINOTO"

REVIEW FILM "GURU BANGSA TJOKROAMINOTO" Film "Guru Bangsa Tjokroaminoto" merupakan sebuah karya sinematik yang menggambarkan perjalanan hidup Haji Oemar Said Tjokroaminoto sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia. Dengan mengangkat aspek sejarah dan sosial-politik, film ini berhasil menampilkan dinamika antara penguasa dan rakyat, perkembangan ideologi, serta realitas ekonomi-politik pada masa itu. Analisis film ini akan menitikberatkan pada relasi antara penguasa dan rakyat, ideologi yang berkembang, serta kondisi sosial-politik yang mempengaruhi gerakan Tjokroaminoto. Film ini menggambarkan relasi antara penguasa kolonial Belanda dengan rakyat pribumi sebagai hubungan yang penuh ketidakadilan dan eksploitasi. Dari adegan penyiksaan penyadap karet hingga tindakan diskriminatif terhadap pribumi dalam keseharian mereka, ketimpangan ini ditampilkan secara gamblang. Salah satu adegan paling mencolok adalah ketika seorang petinggi Belanda menghina seorang pribumi yan...

Human Rights and Foreign Policy (HAM dalam Hubungan Internasional: Week 2)

Human Rights and Foreign Policy in Comparative Perspective

Meskipun berbagai lembaga antarpemerintah dan kelompok transnasional swasta yang berfokus pada hak asasi manusia terus berkembang, peran negara dan kebijakan luar negerinya tetap menjadi faktor utama dalam mendorong kemajuan di bidang ini. Organisasi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS), dan Organisasi Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) memiliki program hak asasi manusia yang luas, tetapi keputusan penting tetap berada di tangan negara-negara anggotanya. Negara juga menjadi target utama dalam upaya reformasi hak asasi manusia, sehingga perannya tidak bisa diabaikan. Di sisi lain, organisasi non-pemerintah (NGO) aktif dalam memperjuangkan hak asasi manusia, tetapi peran utama mereka lebih pada memberikan tekanan kepada negara agar mengambil langkah yang lebih baik. Keputusan mengenai ratifikasi perjanjian internasional, penerapan mekanisme pemantauan, hingga penggunaan bantuan luar negeri untuk mendukung hak asasi manusia tetap berada di tangan pemerintah masing-masing. Selain itu, negara juga memiliki wewenang untuk menangkap penjahat perang, baik secara individu maupun melalui kerja sama dengan organisasi internasional.

Policy instruments

Banyak negara enggan mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di negara lain karena khawatir mengganggu kepentingan diplomatik dan ekonomi. Gugatan terkait hak asasi manusia di Mahkamah Internasional maupun Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa jarang diajukan oleh negara, karena sebagian besar kasus berasal dari individu. Namun, kasus/isu ini tetap menjadi alat diplomasi, baik untuk mempermalukan musuh seperti dalam Perang Dingin maupun untuk kepentingan politik dalam negeri. Contohnya, Henry Kissinger secara terbuka mendukung hak asasi manusia di Amerika Selatan, sementara diam-diam mendukung rezim represif.

Diplomatic means

Negara memiliki berbagai cara untuk menggunakan diplomasi dalam memengaruhi kebijakan negara lain yang melanggar hak asasi manusia, antara lain:

  • Diplomasi Tertutup: Melakukan negosiasi rahasia untuk menekan negara pelanggar tanpa memicu kontroversi publik.
  • Tekanan Publik: Mengangkat isu hak asasi manusia di forum internasional untuk memberi tekanan politik dan moral.
  • Boikot Budaya dan Olahraga: Tidak berpartisipasi dalam acara internasional untuk mengisolasi negara pelanggar, seperti yang dilakukan terhadap Afrika Selatan selama apartheid.
  • Penarikan Duta Besar: Menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan negara lain dengan menarik diplomat sebagai bentuk protes.
  • Insentif Diplomatik: Menawarkan keanggotaan dalam organisasi internasional, seperti Uni Eropa atau NATO, sebagai dorongan bagi negara untuk memperbaiki kebijakan hak asasi manusia.
  • Konferensi Internasional: Mengundang negara-negara tertentu ke pertemuan global untuk mendiskusikan dan menekan perbaikan dalam kebijakan hak asasi manusia.

Economic means

Negara sering enggan menerapkan sanksi ekonomi terhadap negara lain karena dapat merugikan diri sendiri. Meski begitu, beberapa negara tetap menangguhkan perdagangan atau bantuan ketika diplomasi gagal dan intervensi militer tidak diinginkan. Namun, sanksi ini sering lebih menyengsarakan rakyat dibanding memengaruhi pemimpin yang ditargetkan. Untuk mengatasi kelemahan sanksi umum, beberapa negara menerapkan "smart sanctions" yang menargetkan elite pemerintahan melalui pemblokiran rekening dan pembatasan perjalanan. Tinjauan mengenai sanksi ekonomi dan hak asasi manusia menyimpulkan bahwa:

  • Sanksi multilateral lebih efektif dibandingkan sanksi unilateral.
  • Hukuman ekonomi sebaiknya dikombinasikan dengan insentif positif.
  • "Smart sanctions" jarang menghasilkan kepatuhan penuh.
  • Sanksi ekonomi lebih dari dua tahun cenderung tidak efektif.
  • Langkah ekonomi sebaiknya dikombinasikan dengan ancaman militer.
  • Tujuan dan metode penerapan sanksi harus jelas.

Selain sanksi negatif, negara juga dapat memberikan insentif ekonomi bagi negara yang berkomitmen meningkatkan perlindungan hak asasi manusia. Banyak negara demokrasi dan organisasi internasional menjalankan program promosi demokrasi melalui bantuan ekonomi dan teknis untuk mendukung pemilu yang bebas, memperkuat institusi negara, dan mendorong masyarakat sipil yang peduli terhadap hak asasi manusia.

Military means

Intervensi militer dalam isu hak asasi manusia sering kali menjadi topik kontroversial, terutama ketika tindakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB. Banyak negara mengklaim bahwa mereka bertindak untuk tujuan kemanusiaan, padahal ada motif politik atau keamanan di baliknya. Hal ini terlihat pada beberapa intervensi militer yang meskipun mengklaim melindungi hak asasi manusia, namun justru menambah kompleksitas situasi, seperti yang terjadi dalam kasus Irak pada 2003. Selain itu, meskipun beberapa negara menggunakan kekuatan militer dengan tujuan memperbaiki kondisi hak asasi manusia, hasilnya sering kali justru memperburuk keadaan dalam jangka pendek, seperti yang terjadi pada pemboman NATO terhadap Serbia di 1999.

Sebaliknya, intervensi militer yang dilakukan dengan mandat Dewan Keamanan PBB atau dalam rangka mendukung resolusi PBB lebih dapat diterima secara internasional, meskipun tetap ada tantangan dalam implementasinya. Misi penjaga perdamaian atau penegakan hukum yang melibatkan negara-negara anggota PBB, meskipun lebih terstruktur, tetap memerlukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Negara-negara yang terlibat dalam operasi semacam ini berperan besar dalam mengatur strategi, taktik, dan pemilihan personel militer, yang juga harus dilatih sesuai dengan hukum humaniter internasional. Keterlibatan negara-negara dalam misi multilateral ini sering kali menjadi cara untuk menanggapi pelanggaran hak asasi manusia, meskipun terkadang tidak lepas dari motif geopolitik.

US foreign policy and human rights

Kebijakan luar negeri suatu negara terkait hak asasi manusia sering kali dipengaruhi oleh nasionalisme dan ideologi negara tersebut, di mana negara tersebut menganggap dirinya lebih unggul dan memiliki hak untuk mengajarkan nilai-nilai tertentu kepada negara lain. Banyak negara, terutama di masa lalu, menganggap diri mereka sebagai pembawa peradaban yang lebih superior, meskipun sering kali kebijakan tersebut disertai dengan kekejaman dan penindasan. Pandangan ini mencerminkan keyakinan bahwa mereka lebih baik daripada bangsa lain, yang sering kali menuntun pada sikap yang tidak toleran atau bahkan balas dendam terhadap bangsa-bangsa yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang dibawa.

American Exceptionalism

Ekssepsionalisme Amerika (American exceptionalism) adalah pandangan bahwa Amerika Serikat dianggap sebagai contoh kebebasan bagi dunia. Banyak orang, terutama yang memiliki pandangan nasionalis, mengaitkan hak asasi manusia dengan kebebasan pribadi yang tercantum dalam Bill of Rights AS, bukan dengan konsep yang lebih luas yang ada dalam standar internasional. Dalam kebijakan luar negeri, ini berarti AS sering menekan negara lain untuk meningkatkan kebebasan pribadi dan politik, dengan mengutamakan pandangan Amerika.

Namun, meskipun banyak bicara tentang peran AS dalam membela hak asasi manusia, tindakan nyata tidak selalu sesuai dengan kata-kata tersebut. Kebijakan luar negeri AS sering kali hanya berbicara tentang kebebasan dan demokrasi, tetapi tidak selalu diikuti dengan aksi. Pengalaman AS dalam konflik internasional seperti di Somalia atau Rwanda menunjukkan bahwa meskipun ada retorika besar tentang hak asasi manusia, AS kadang enggan bertindak jika biaya atau risikonya terlalu tinggi.

More on bold rhetoric but limited measures

Opini publik Amerika terhadap hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri menunjukkan perpaduan antara liberalisme dan realisme, dengan fokus pada kepentingan nasional dan perhatian terhadap hak-hak manusia di luar negeri. Meskipun kebijakan luar negeri AS sering mengedepankan kepentingan pragmatis seperti menghentikan aliran narkoba atau melindungi pekerjaan warga, ada juga perhatian terhadap promosi demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, survei menunjukkan bahwa dukungan terhadap tindakan militer untuk memajukan demokrasi di luar negeri relatif rendah, dan hanya ketika kepentingan nasional terhubung dengan tindakan tersebut AS cenderung bertindak, seperti di Libya.

Dalam banyak kasus, kebijakan luar negeri AS tentang hak asasi manusia cenderung pragmatis dan berfokus pada penghindaran kerugian besar, baik dari segi biaya maupun korban. Meskipun ada perhatian terhadap isu-isu seperti kebebasan beragama atau penganiayaan agama, keputusan kebijakan sering kali didorong oleh kepentingan ekonomi dan keamanan tradisional, dengan mempertimbangkan dampak terhadap sekutu internasional dan stabilitas domestik.

Recent administrations

Sejarah diplomatik Amerika Serikat terkait hak asasi manusia menunjukkan ketegangan antara kepentingan politik domestik dan agenda luar negeri. Sejak pemerintahan Eisenhower hingga Obama, Kongres sering kali memainkan peran penting dalam memengaruhi kebijakan hak asasi manusia, baik melalui penekanan terhadap kebijakan luar negeri AS maupun dalam pengaruhnya terhadap pembentukan biro-biro baru yang fokus pada hak asasi manusia. Misalnya, meskipun Jimmy Carter menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu pilar kebijakan luar negeri, banyak tantangan yang dihadapi, terutama setelah peristiwa seperti invasi Soviet ke Afghanistan yang mengubah prioritas kebijakan AS.

Di bawah pemerintahan Bush, kebijakan luar negeri AS lebih menekankan pada promosi kebebasan dan demokrasi, meskipun sering kali diiringi dengan kompromi yang mempertahankan hubungan erat dengan diktator di Timur Tengah. Sementara itu, kebijakan Obama berfokus pada pemisahan diri dari praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan di bawah pemerintahan Bush, serta kembali mendekatkan AS dengan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

Further observations

Kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam hak asasi manusia penuh dengan kontradiksi, di mana dukungan retoris terhadap kebebasan dan demokrasi sering kali tidak sejalan dengan tindakan nyata. Amerika Serikat menolak mengakui hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai hak asasi manusia serta tetap mempertahankan pendekatan partikularisme nasional dalam kebijakan hak asasi manusia. Namun, ada tiga aspek kuat dalam kebijakan luar negerinya:

  1. Memimpin perluasan Bab VII Piagam PBB, memungkinkan intervensi internasional atas dasar hak asasi manusia dan keamanan global.
  2. Mengembangkan konsep penjagaan perdamaian generasi kedua dengan menekankan dimensi hak asasi manusia dalam misi PBB.
  3. Berperan dalam kebangkitan kembali pengadilan pidana internasional meskipun tetap menolak yurisdiksi Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas warganya.

Other liberal democracies

Demokrasi liberal ditandai dengan pemilihan nasional yang bebas dan adil berdasarkan hak pilih yang luas, dipadukan dengan perlindungan berbagai hak sipil melalui pengadilan independen dan mekanisme lainnya untuk menyediakan keadilan dan toleransi. Pemerintahan terbatas atau konstitusionalisme adalah fitur utama dari politik liberal.

Hampir semua negara demokrasi liberal dan negara yang berusaha menjadi demokrasi liberal menunjukkan kebijakan yang semakin aktif terkait hak asasi manusia internasional. Seperti halnya Amerika Serikat, mereka  melakukan berbagai inisiatif terkait hak asasi manusia di luar negeri dengan memberikan sentuhan nasional pada kebijakan mereka yang mencerminkan budaya politik nasional. Beberapa negara seperti Belanda, Inggris, dan Jepang memiliki pendekatan yang serupa namun berbeda dalam hal ini. Belanda, misalnya, menonjolkan dirinya sebagai negara yang sangat internasional dan aktif dalam masalah hak asasi manusia, didorong oleh tradisi misi Protestan dan rasa bersalah atas masa kolonialnya. Inggris, dengan sejarah panjangnya, mendukung penuh instrumen hak asasi internasional, namun sering kali mengurangi kritik terhadap negara-negara seperti Arab Saudi karena kepentingan perdagangan senjata. Jepang, meski baru aktif pada isu hak asasi manusia internasional setelah Perang Dunia II dan kekalahan militer, mulai memainkan peran lebih besar, meskipun tetap lebih pasif dibandingkan negara-negara demokrasi liberal barat lainnya.

Illiberal states

Negara-negara illiberal, meskipun memiliki pemilihan nasional yang bebas dan adil berdasarkan hak pilih yang luas, tidak efektif dalam melindungi hak-hak minoritas atau penentang pemerintah. Demokrasi illiberal cenderung menggunakan hak partisipasi politik untuk meniadakan hak sipil yang melindungi kelompok-kelompok ini, seperti yang terlihat di Iran dan Kroasia di bawah Tudjman. Sementara itu, Iran menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri dan hak asasi manusia di negara illiberal dapat bertentangan dengan prinsip-prinsip internasional, karena para pemimpin Iran menolak superioritas instrumen hak asasi manusia internasional, berpegang pada hukum Syariah yang membatasi hak individu.

Iran sebagai contoh negara illiberal, menerapkan kebijakan luar negeri yang defensif terkait hak asasi manusia, menolak kritik internasional dengan membenarkan tindakan mereka berdasarkan hukum Islam. Negara ini berpegang pada doktrin bahwa hak-hak individu bukanlah hak universal, tetapi diberikan oleh negara berdasarkan ajaran agama. Pemerintah Iran cenderung mengabaikan tekanan internasional, menyebutnya sebagai bagian dari neo-imperialisme Amerika. Meski beberapa pemimpin moderat berusaha membawa Iran lebih dekat pada norma internasional, kebijakan negara ini masih sangat dipengaruhi oleh para ulama yang mempertahankan nilai-nilai yang berfokus pada penegakan hukum agama, bukan hak-hak universal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Film "The Burning Season: The Chico Mendes Story"

Fakta Tentang Yaman