REVIEW FILM "GURU BANGSA TJOKROAMINOTO"

REVIEW FILM "GURU BANGSA TJOKROAMINOTO" Film "Guru Bangsa Tjokroaminoto" merupakan sebuah karya sinematik yang menggambarkan perjalanan hidup Haji Oemar Said Tjokroaminoto sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia. Dengan mengangkat aspek sejarah dan sosial-politik, film ini berhasil menampilkan dinamika antara penguasa dan rakyat, perkembangan ideologi, serta realitas ekonomi-politik pada masa itu. Analisis film ini akan menitikberatkan pada relasi antara penguasa dan rakyat, ideologi yang berkembang, serta kondisi sosial-politik yang mempengaruhi gerakan Tjokroaminoto. Film ini menggambarkan relasi antara penguasa kolonial Belanda dengan rakyat pribumi sebagai hubungan yang penuh ketidakadilan dan eksploitasi. Dari adegan penyiksaan penyadap karet hingga tindakan diskriminatif terhadap pribumi dalam keseharian mereka, ketimpangan ini ditampilkan secara gamblang. Salah satu adegan paling mencolok adalah ketika seorang petinggi Belanda menghina seorang pribumi yan...

Review The Anti-Slavery Movement and The Rise of International Non-Governmental Organizations

THE ANTI-SLAVERY MOVEMENT AND THE RISE OF INTERNATIONAL NON-GOVERNMENTAL ORGANIZATIONS

Organisasi non-pemerintah (NGO) memiliki peran sentral dalam hukum dan praktik hak asasi manusia internasional. Sejak pendiriannya pada tahun 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan status konsultatif kepada lebih dari 3.500 NGO, yang berkontribusi dalam berbagai isu hak asasi manusia di tingkat global maupun lokal. Sejarah menunjukkan bahwa peran NGO semakin berkembang, terutama sejak akhir abad ke-20, dengan meningkatnya penggunaan istilah "hak asasi manusia" dan kehadiran NGO dalam berbagai forum internasional. Meski istilah NGO baru populer pada pertengahan abad ke-20, sejarah mencatat bahwa aktivisme hak asasi manusia telah berlangsung jauh sebelumnya, seperti dalam gerakan abolisi perbudakan dan perjuangan hak-hak perempuan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Gerakan hak asasi manusia modern memiliki akar yang kuat dalam berbagai bentuk advokasi di masa lalu. Kampanye internasional melawan perdagangan budak memperkenalkan konsep bahwa pelanggaran hak asasi manusia bukan hanya urusan domestik, tetapi menjadi perhatian global. Selain itu, gerakan antiperbudakan juga memengaruhi perjuangan lain, seperti hak pilih perempuan, yang banyak mengambil strategi dan taktik dari aktivisme abolisionis. Walaupun konteks sosial dan politik masa lalu berbeda dengan saat ini, perkembangan hukum hak asasi manusia internasional tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang perjuangan masyarakat sipil.

The Rise of Abolitionism: Religion, Natural Rights, and Civil Society

Perbudakan telah menjadi bagian penting dalam ekonomi dan sosial dunia Atlantik sejak abad ke-16 hingga ke-19, dengan ratusan ribu orang Afrika diperbudak dan dikirim ke Amerika setiap tahunnya. Namun, pada awal abad ke-19, berbagai negara mulai mengambil langkah untuk menghapus perdagangan budak. Inggris dan Amerika Serikat melarang perdagangan budak pada 1807, diikuti oleh negara-negara Amerika Latin seperti Meksiko, Argentina, dan Chili yang mulai menghapus perbudakan di wilayah mereka. Pada dekade 1840-an, lebih dari dua puluh negara menandatangani perjanjian internasional untuk mengakhiri perdagangan budak, dan hingga akhir abad ke-19, jumlah budak yang diperdagangkan secara ilegal terus menurun. Pada 1900, perbudakan telah dilarang di seluruh belahan Barat, meskipun tantangan tetap ada dalam implementasi kebijakan ini.

Proses penghapusan perbudakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk gerakan sosial, perubahan ekonomi, serta perkembangan gagasan hak asasi manusia dan hukum internasional. Gerakan abolisionis yang mulai berkembang sejak akhir abad ke-18 berperan penting dalam mendorong perubahan, dengan keterlibatan aktivis dari berbagai negara. Inggris memimpin upaya ini, namun jaringan abolisionis juga berkembang di Eropa dan Amerika Latin. Beberapa sejarawan menilai bahwa gerakan ini didorong oleh idealisme moral, sementara yang lain berpendapat bahwa kepentingan ekonomi, terutama kapitalisme industri, turut berperan. Selain itu, penyebaran gagasan Pencerahan tentang hak-hak alami, dampak revolusi Amerika dan Prancis, serta kebangkitan gerakan keagamaan yang menekankan kesetaraan dan kebebasan turut mempercepat gerakan ini. Kesadaran masyarakat akan keterkaitan antara konsumsi barang seperti gula dengan eksploitasi tenaga kerja budak juga membantu membangun dukungan luas bagi penghapusan perbudakan.

International Action against the Slave Trade

1. Civil society networks

Jaringan transnasional antara organisasi abolisionis di Inggris dan Amerika Serikat berkembang pesat melalui pertukaran surat, publikasi, dan kunjungan. Hubungan ini berakar pada jaringan Quaker sejak abad ke-18, yang memfasilitasi berbagi strategi seperti petisi, boikot produk hasil perbudakan, dan pidato abolisionis. Pada 1830-an, tokoh seperti William Lloyd Garrison, Charles Stuart, dan George Thompson memperkuat kerja sama ini. Garrison mendirikan American Anti-Slavery Society dengan dukungan Universal Abolition Society di Inggris, yang membantu perjuangan abolisionis Amerika dan menentang perdagangan budak internasional. Stuart dan Thompson mendorong terbentuknya lebih banyak organisasi abolisionis universal. Konferensi Anti-Perbudakan Dunia 1840 menjadi tonggak penting dalam mempererat kerja sama Inggris-Amerika, melibatkan aktivis dari India, Sierra Leone, dan Afrika Selatan dalam gerakan global melawan perbudakan.

2. State-to-state action: international treaties and courts

Seiring dengan upaya kelompok masyarakat sipil dalam memperjuangkan abolisi perbudakan, perkembangan signifikan juga terjadi di tingkat hubungan antarnegara. Inggris, yang dipengaruhi oleh tekanan domestik, menjadikan penghapusan perdagangan budak sebagai prioritas kebijakan luar negerinya, membangun jaringan perjanjian internasional sepanjang abad ke-19 untuk memperkuat konsensus global melawan perbudakan. Upaya hukum internasional dimulai dengan deklarasi moral, seperti Perjanjian Ghent (1814) dan Kongres Wina (1815), yang kemudian berkembang menjadi perjanjian yang lebih mengikat, termasuk pendirian pengadilan campuran di berbagai negara untuk mengadili kapal dagang budak. Meski menghadapi tantangan dalam penerapannya, sistem ini berhasil mengutuk lebih dari 600 kapal ilegal dan membebaskan lebih dari 80.000 budak. Meskipun tidak sepenuhnya mengakhiri perdagangan budak, mekanisme hukum internasional ini menjadi tonggak penting dalam sejarah hak asasi manusia, menandai pertama kalinya perjanjian global digunakan secara efektif untuk menangani pelanggaran hak individu di luar yurisdiksi nasional.

3. Women and abolition

Peran perempuan dalam gerakan abolisi perbudakan di Inggris dan Amerika Serikat sangat signifikan, tidak hanya dalam memperjuangkan penghapusan perbudakan tetapi juga sebagai langkah awal dalam gerakan hak-hak perempuan. Melalui organisasi anti-perbudakan, perempuan mendapatkan ruang untuk berdebat, merumuskan resolusi, serta membangun jaringan lokal dan internasional. Meskipun mereka tidak memiliki hak pilih, keterlibatan mereka dalam masyarakat sipil menjadi sarana untuk bersuara mengenai perbudakan dan kemudian memperjuangkan hak-hak sipil dan politik mereka sendiri. Peran agama, terutama denominasi Protestan, turut mendukung partisipasi perempuan dalam gerakan ini, memberikan mereka struktur dan motivasi untuk terlibat dalam aktivisme kolektif. Di Inggris, perempuan cenderung menyoroti aspek ekonomi perbudakan, sementara di Amerika Serikat, mereka lebih menekankan pengaruh moral dan spiritual, dengan gerakan penghindaran konsumsi barang hasil perbudakan sebagai bentuk perlawanan simbolis.

Gerakan abolisi juga memperkuat hubungan transatlantik antara aktivis perempuan di berbagai negara, yang kemudian berkembang menjadi gerakan internasional pertama bagi hak-hak perempuan. Insiden penolakan delegasi perempuan Amerika dalam Konferensi Anti-Perbudakan Dunia tahun 1840 di London menjadi titik balik yang mendorong Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Mott untuk menginisiasi Konvensi Seneca Falls, yang menandai lahirnya gerakan hak perempuan di Amerika Serikat. Di Inggris, aktivisme perempuan tetap terfokus pada berbagai isu sosial sebelum akhirnya mengarah pada perjuangan hak pilih. Keterkaitan antara gerakan abolisi dan hak perempuan juga terlihat di negara lain, meskipun dengan tingkat keterlibatan yang berbeda. Pada awal abad ke-20, jaringan yang terbentuk dalam perjuangan abolisi berkembang menjadi gerakan hak pilih perempuan secara global, yang akhirnya membawa perubahan besar dalam hak politik perempuan di berbagai belahan dunia.

4. Development of civil society and emergence of other transnational non-governmental organizations

Meskipun banyak organisasi dalam masyarakat sipil memiliki cakupan lokal atau nasional, beberapa gerakan seperti abolisi perbudakan dan hak pilih perempuan berkembang secara transnasional. Organisasi keagamaan sejak lama memiliki jangkauan internasional, namun berbagai kelompok baru, meskipun memiliki keterkaitan dengan agama, mengusung misi yang lebih luas. Salah satu contohnya adalah YMCA, yang didirikan di London pada 1855 dan berkembang menjadi organisasi global dengan misi sosial di lebih dari 125 negara. Selain itu, organisasi non-pemerintah juga berperan dalam pengembangan hukum perang internasional, seperti yang dilakukan oleh Henry Dunant saat mendirikan Komite Palang Merah Internasional setelah menyaksikan penderitaan korban perang di Solferino tahun 1859. Gerakan perdamaian juga tumbuh pesat, dengan lebih dari 425 organisasi aktif pada tahun 1900, termasuk rencana yang kemudian melahirkan Permanent Court of Arbitration. Selain itu, organisasi buruh internasional mulai terbentuk pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mencakup berbagai sektor industri dan asuransi sosial. Upaya internasional lainnya mencakup reformasi perdagangan bebas, dengan pendirian Asosiasi Internasional untuk Reformasi Kepabeanan pada 1856.

5. Connections between early NGOs and those active today

Banyak organisasi non-pemerintah awal tidak hanya mengembangkan taktik dan strategi yang masih digunakan oleh NGO transnasional saat ini, tetapi juga mempertahankan eksistensinya meskipun agenda mereka terus berkembang seiring waktu. Sejumlah organisasi hak asasi manusia modern dapat menelusuri asal-usulnya hingga gerakan abolisi abad ke-19 dan perjuangan hak-hak perempuan. Misalnya, Anti-Slavery International merupakan penerus organisasi yang lahir dari British and Foreign Anti-Slavery Society pada 1839 dan berperan dalam berbagai upaya penghapusan perbudakan, termasuk Konferensi London 1840 dan Perjanjian Brussel 1890. Pada abad ke-20, organisasi ini menentang perbudakan di Kongo serta sistem kerja paksa di koloni Inggris, dan kini aktif dalam pemberantasan perdagangan manusia secara global. Hubungan historis juga terlihat dalam pendirian NAACP pada 1909 oleh tokoh-tokoh yang berasal dari keluarga aktivis abolisi, serta keterlibatan WEB DuBois dalam gerakan hak-hak sipil internasional, termasuk di PBB. Selain itu, Liga Pemilih Perempuan dan ACLU juga memiliki akar dalam gerakan hak perempuan dan abolisi. Dengan demikian, gerakan hak asasi manusia saat ini memiliki hubungan erat dengan aktivisme abad ke-19, menunjukkan bahwa mobilisasi transnasional merupakan faktor kunci dalam perjuangan hak asasi manusia sejak dulu hingga sekarang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Human Rights and Foreign Policy (HAM dalam Hubungan Internasional: Week 2)

Review Film "The Burning Season: The Chico Mendes Story"

Fakta Tentang Yaman