REVIEW FILM "GURU BANGSA TJOKROAMINOTO"

REVIEW FILM "GURU BANGSA TJOKROAMINOTO" Film "Guru Bangsa Tjokroaminoto" merupakan sebuah karya sinematik yang menggambarkan perjalanan hidup Haji Oemar Said Tjokroaminoto sebagai tokoh pergerakan nasional Indonesia. Dengan mengangkat aspek sejarah dan sosial-politik, film ini berhasil menampilkan dinamika antara penguasa dan rakyat, perkembangan ideologi, serta realitas ekonomi-politik pada masa itu. Analisis film ini akan menitikberatkan pada relasi antara penguasa dan rakyat, ideologi yang berkembang, serta kondisi sosial-politik yang mempengaruhi gerakan Tjokroaminoto. Film ini menggambarkan relasi antara penguasa kolonial Belanda dengan rakyat pribumi sebagai hubungan yang penuh ketidakadilan dan eksploitasi. Dari adegan penyiksaan penyadap karet hingga tindakan diskriminatif terhadap pribumi dalam keseharian mereka, ketimpangan ini ditampilkan secara gamblang. Salah satu adegan paling mencolok adalah ketika seorang petinggi Belanda menghina seorang pribumi yan...

Evolution of Social Movement (ch.2)

Classical and Contemporary Conventional Theories of Social Movements

Gerakan sosial adalah bentuk aksi kolektif yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mendorong atau menolak perubahan sosial dengan menggunakan strategi dan taktik non-institusional (Unconventional Politics). Gerakan ini sering kali muncul sebagai respons terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial, dengan tujuan menciptakan perubahan yang lebih adil bagi masyarakat.

Sebelum tahun 1960-an, kajian akademis tentang gerakan sosial di Amerika Serikat masih sangat terbatas. Banyak ahli yang menganggapnya sebagai fenomena sampingan tanpa signifikansi besar. Namun, dengan meningkatnya aktivisme sosial pada dekade 1960-an serta kebangkitan perspektif konflik, para akademisi mulai memberikan perhatian yang lebih serius terhadap gerakan sosial. Seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap gerakan sosial, para akademisi mulai mengembangkan berbagai teori untuk menjelaskan kemunculan, organisasi, dan struktur gerakan sosial.

Beberapa teori utama yang muncul dalam studi gerakan sosial meliputi teori deprivasi relatif (relative deprivation), mobilisasi sumber daya (resource mobilization), peluang politik (political opportunity), gerakan sosial baru (new social movements), dan framing. Meskipun teori-teori ini terkadang dianggap sebagai penjelasan yang saling bersaing mengenai kemunculan dan perkembangan gerakan sosial, sebenarnya masing-masing teori memberikan wawasan unik yang dapat diterapkan pada jenis gerakan sosial tertentu atau fase perkembangan yang berbeda.

Classical Conventional Theories of Social Movements

Revolusi Prancis menjadi salah satu peristiwa bersejarah yang paling berpengaruh dalam membentuk pemikiran tentang gerakan sosial. Salah satu tokoh utama yang menginspirasi revolusi ini adalah Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf dan teoritikus politik abad ke-18. Melalui karyanya The Social Contract, Rousseau menekankan bahwa pemerintahan seharusnya dibentuk oleh rakyat dan keputusan kebijakan tidak boleh hanya ditentukan oleh raja atau ratu. Ide-ide Pencerahan yang dikembangkannya mendorong tumbuhnya gagasan tentang demokrasi dan kebebasan, yang kemudian menjadi landasan bagi munculnya Revolusi Prancis.

Pada akhir 1700-an, rakyat Prancis bangkit melawan sistem yang dianggap tidak adil dan memperjuangkan kebebasan, kesetaraan, serta perwakilan politik. Revolusi ini tidak hanya berhasil menggulingkan monarki di Prancis, tetapi juga menginspirasi perubahan besar di seluruh Eropa. Sistem feodalisme dihapuskan dan digantikan oleh prinsip-prinsip pencerahan (enlightment) dan liberalisme. Namun, di tengah euforia perubahan, Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan melalui kudeta dan mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin tertinggi. Meski ia tetap membawa beberapa nilai Revolusi Prancis, ekspansi militer dan ambisinya membangun kekaisaran justru melemahkan prinsip-prinsip demokrasi yang diperjuangkan sebelumnya.

Setelah Revolusi Prancis dan pemerintahan otoriter Napoleon, pemikiran tentang gerakan sosial berkembang ke arah yang lebih beragam. Sebagian akademisi percaya bahwa mobilisasi dari akar rumput (bottom-up) adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih baik, sementara yang lain lebih memilih sistem hierarki dari atas ke bawah (top-down) sebagai model yang lebih efektif.

Utopian Socialism Versus Elite Theory

Sosialisme Utopis (Utopian Socialism) adalah sebuah gerakan pada abad ke-19 yang mendukung pembentukan komunitas yang berlandaskan prinsip sosialisme. Berbeda dengan pendekatan revolusioner, gerakan ini lebih mengedepankan inisiatif sukarela dalam skala kecil. Meskipun demikian, sosialisme utopis tetap menekankan mobilisasi akar rumput serta mendorong berbagai reformasi sosial progresif. Beberapa tokoh utama dalam gerakan ini adalah para pemikir Prancis yang kemungkinan besar terinspirasi oleh Revolusi Prancis, seperti Charles Fourier, Etienne Cabet, dan Henri de Saint-Simon.

Sebaliknya, Teori Elit (Elite Theory) muncul sebagai perspektif akademis pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dengan pandangan bahwa sebagian besar masyarakat seharusnya dijalankan oleh sekelompok kecil elit. Para pendukung teori ini termasuk pemikir Italia seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels. Teori ini secara umum bersikap skeptis terhadap mobilisasi akar rumput dan gerakan sosial. Teori elit berpendapat bahwa hanya orang-orang tertentu yang memiliki keterampilan dan posisi sosial, baik melalui warisan maupun prestasi, yang layak memimpin masyarakat, sementara rakyat/masyarakat seharusnya mengikuti tanpa mempertanyakan sistem yang ada. Dalam dunia politik, teori ini menjadi dasar ideologi rezim fasis totaliter pada pertengahan abad ke-20 yang menyebabkan kehancuran besar selama Perang Dunia II.

Dalam perbandingannya, sosialisme utopis mendukung gerakan sosial meskipun dalam skala kecil dan menekankan pentingnya mobilisasi akar rumput untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil. Sebaliknya, teori elit bersikap kritis terhadap gerakan sosial dan justru berpendapat bahwa masyarakat harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh pemimpin elit yang dianggap lebih unggul.

Early Sociological Views of Social Movements

Karl Marx, sebagai pencetus paradigma konflik (conflict paradigm), memiliki pandangan positif terhadap gerakan sosial. Marx sangat mendukung mobilisasi kelas pekerja dan menyerukan revolusi yang dipimpin oleh kaum buruh.

Max Weber tidak banyak membahas gerakan sosial secara langsung. Namun, beberapa karyanya memberikan petunjuk mengenai pandangannya terhadap mobilisasi dan perubahan sosial. Dalam analisisnya tentang birokrasi, Weber mengakui bahwa sistem birokrasi dapat membuat individu merasa terasing. Meskipun demikian, ia tidak menganjurkan perubahan sistem karena menurutnya, usaha untuk mengubahnya akan sia-sia. Weber juga menekankan bahwa ilmu sosial bersifat subjektif, tetapi para ilmuwan sosial harus tetap menjaga objektivitas dan tidak terlibat dalam aktivisme sosial maupun kebijakan publik.

Georg Simmel, sebagai teoretikus klasik lainnya, membahas dinamika hubungan sosial antara kelompok yang bersaing, seperti buruh dan pemilik modal. Dalam The Web of Group Affiliations, ia mengeksplorasi bagaimana kesadaran akan kesamaan posisi ekonomi dapat mendorong pembentukan kelompok berbasis kelas. Simmel menyoroti bagaimana kaum pekerja membentuk serikat buruh untuk memperjuangkan kondisi kerja yang lebih baik. Meskipun ia tidak secara eksplisit menghubungkan pembentukan kelompok ini dengan gerakan sosial, ia mengakui bahwa organisasi buruh memiliki peran penting dalam perlawanan terhadap kelas kapitalis.

Emile Durkheim, sebagai pemikir yang hidup beberapa generasi setelah Revolusi Prancis, Durkheim cenderung menolak perubahan sosial yang cepat dan mendukung stabilitas sosial. Ia percaya bahwa individu harus mematuhi norma sosial dan tidak mendukung adanya penyimpangan, apalagi gerakan yang menantang tatanan yang ada. Baginya, struktur sosial yang ada harus tetap dipertahankan, bahkan bagi mereka yang berada dalam kondisi kurang menguntungkan. Pemikiran Durkheim menjadi dasar bagi paradigma fungsionalis (functionalist paradigm). Menurut perspektif fungsionalis ini, mempertahankan status quo dianggap sebagai hal yang paling penting, sementara gerakan sosial sering kali dipandang sebagai gangguan yang tidak diinginkan dalam sistem sosial yang sudah berfungsi.

Contemporary Conventional Theories of Social Movements

Dengan bangkitnya kembali paradigma konflik dalam sosiologi, masalah-masalah sosial tidak lagi diabaikan atau disembunyikan. Sebaliknya, semakin banyak pengakuan bahwa masyarakat Amerika dipenuhi dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Seiring dengan itu, upaya untuk mengubah sistem melalui gerakan sosial menjadi perhatian utama para akademisi progresif. Generasi baru sosiolog mulai melihat gerakan sosial sebagai bentuk aksi politik yang sah dan menganggap para pesertanya sebagai aktor yang rasional.

Relative Deprivation, Strain Theory

Menurut teori deprivasi relatif, ketidaksetaraan sosial adalah penyebab utama munculnya gerakan sosial. Teori deprivasi relatif menyampaikan beberapa klaim yang patut diperhatikan. Pertama, teori ini mengadopsi konsep dari teori ketegangan (strain theory) oleh Robert K. Merton, yang menyatakan bahwa ketegangan struktural dapat mendorong individu untuk berpikir di luar kebiasaan dalam mencari solusi atas masalah sosial. Akibatnya, gerakan sosial dan politik non-konvensional menjadi salah satu alternatif yang dipertimbangkan oleh masyarakat dalam menangani ketidakpuasan mereka.

Selain itu, teori deprivasi relatif menekankan bahwa bukan sekadar ketidaksetaraan yang menyebabkan munculnya gerakan sosial, tetapi persepsi subjektif (subjective perceptions of inequality) terhadap ketidaksetaraan. Orang harus menyadari bahwa ada ketidakadilan dan merasa bahwa mereka berada dalam posisi yang dirugikan agar dapat termobilisasi. Hal ini mengacu pada pemikiran Karl Marx bahwa kelas pekerja harus mengatasi kesadaran palsu sebelum mereka dapat bersatu untuk melakukan mobilisasi.

Resource Mobilization Theory

Teori mobilisasi sumber daya berpendapat bahwa sumber daya memiliki peran penting dalam munculnya dan bertahannya gerakan sosial. Dalam konteks ini, “sumber daya” dapat mencakup berbagai aspek, tetapi yang paling sering disebut adalah sumber daya manusia (aktivis, pemimpin, dan sebagainya) serta sumber daya ekonomi (jaringan, dukungan finansial, dan lainnya).

Sumber daya manusia dapat dikatakan sebagai elemen paling krusial dalam sebuah gerakan sosial. Hal ini berlaku di semua tingkatan gerakan. Jumlah individu yang cukup dalam suatu gerakan sangat penting, tetapi memiliki pemimpin yang tepat juga menjadi faktor esensial. Jumlah individu yang besar dapat menjadi sinyal bagi pihak luar seperti pembuat kebijakan dan masyarakat umum bahwa gerakan tersebut memiliki dukungan luas. Memiliki sejumlah aktivis inti yang memadai juga membantu dalam membentuk kepemimpinan yang stabil dan konsisten. Pemimpin memiliki peran penting dalam gerakan sosial. Meskipun banyak gerakan menghindari struktur hierarkis dari atas ke bawah, keberadaan juru bicara yang karismatik tetap menguntungkan karena mereka dapat menentukan arah dan keberlanjutan gerakan.

Selain sumber daya manusia, sumber daya ekonomi juga memegang peran penting dalam gerakan sosial. Gerakan sosial umumnya terdiri dari kelompok yang memiliki keterbatasan sumber daya, yang membuat mereka memilih jalur perjuangan non-konvensional dibandingkan menyewa pelobi atau menghubungi pembuat kebijakan secara langsung. Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh teori deprivasi relatif, ketimpangan sosial sering kali menjadi motivasi utama seseorang untuk terlibat dalam gerakan sosial. Namun, tetap memiliki sejumlah sumber daya sangatlah penting.

Paradoks ini dapat dijelaskan melalui pola “U-terbalik (Inverse-U)”, yaitu hubungan antara sumber daya dan kemunculan gerakan sosial yang mengikuti kurva berbentuk U terbalik. Dalam pola ini, ada titik keseimbangan yang disebut “Zona Goldilocks”, yaitu kondisi di mana gerakan sosial paling mungkin terbentuk dan berhasil. Dengan memiliki sumber daya dalam jumlah cukup, gerakan dapat berkembang tanpa kehilangan motivasi untuk berjuang.

  • Jika sumber daya sangat sedikit, gerakan sulit terbentuk karena kekurangan tenaga, dana, atau akses untuk mengorganisir aksi.
  • Jika sumber daya cukup, peluang terbentuknya gerakan sosial meningkat karena ada dukungan yang cukup untuk mobilisasi dan advokasi.
  • Jika sumber daya terlalu banyak, gerakan sosial justru kehilangan urgensinya karena kelompok yang diuntungkan tidak perlu menggunakan metode perjuangan non-konvensional untuk mencapai tujuan mereka.

Sumber daya ekonomi juga penting bagi gerakan sosial karena pada dasarnya gerakan sosial terdiri dari organisasi. Para akademisi menyebut kelompok-kelompok ini sebagai organisasi gerakan sosial atau SMO (Social Movement Organizations). Agar dapat beroperasi, setiap organisasi, termasuk SMO, membutuhkan sumber daya. Mereka memerlukan koneksi dengan entitas yang sudah mapan untuk mendapatkan akses ke ruang pertemuan, teknologi (seperti mikrofon dan pengeras suara), liputan media, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga membutuhkan sumber daya ekonomi untuk membeli perlengkapan dasar serta kebutuhan lain yang lebih mahal seperti transportasi untuk menghadiri aksi.

Political Opportunity/Process Theory

Teori Peluang Politik menjelaskan bahwa gerakan sosial lebih mungkin muncul dan sukses ketika ada kesempatan dalam situasi politik. Artinya, kondisi politik sangat memengaruhi terbentuknya gerakan sosial. Namun, seperti dalam teori mobilisasi sumber daya, ada kontradiksi yang tampak dalam teori peluang politik. Orang-orang bergabung dalam gerakan sosial karena mereka tidak memiliki akses ke institusi politik dan alat kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok elit. Mereka tidak memiliki peluang politik yang tersedia bagi orang kaya dan berpengaruh, sehingga mereka harus mencari perubahan melalui cara non-institusional, seperti gerakan sosial. Untuk memahami hubungan ini, kita dapat menggunakan pola “U-terbalik” dalam menjelaskan hubungan antara peluang politik dan kemunculan serta keberhasilan gerakan sosial:

  • Jika peluang politik terlalu sedikit, gerakan sosial sulit terbentuk atau sukses. Pemerintah, yang memiliki alat represif seperti militer dan kepolisian, dapat menekan mobilisasi dengan kekerasan yang dilegalkan negara.
  • Jika peluang politik terlalu besar, kebutuhan akan gerakan sosial berkurang. Dalam kondisi politik yang sangat terbuka, para aktivis dapat menggunakan cara institusional seperti melobi anggota parlemen daripada membentuk gerakan sosial.
  • Di antara dua kondisi inilah (peluang politik tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu besar), dengan adanya beberapa peluang politik tetapi tidak akses penuh, gerakan sosial paling mungkin terbentuk dan berhasil.

“New Social Movements,” Collective Identity Theory

Seiring berjalannya waktu, muncul gerakan baru yang tidak selalu berpusat pada ketidaksetaraan, melainkan pada pengakuan identitas. Misalnya, gerakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) lebih berfokus pada hak-hak hukum dan sosial, seperti pernikahan sesama jenis dan hak adopsi, dibandingkan kesenjangan ekonomi. Demikian pula, gerakan agama baru lebih berkaitan dengan pengakuan hukum dan upaya menghindari stigma sebagai "kultus" dibandingkan dengan ketidaksetaraan struktural.

Karena semakin banyak gerakan yang menitikberatkan pada identitas, muncul teori gerakan sosial baru yang mengadopsi konsep identitas kolektif. Identitas selalu menjadi faktor penting dalam mobilisasi gerakan sosial, terutama dalam menentukan siapa yang diwakili oleh gerakan tersebut. Dalam beberapa kasus, seperti gerakan buruh, identitas kolektifnya jelas, yakni kelas pekerja. Namun, dalam gerakan lain, seperti Arab Spring, batas identitasnya lebih kabur.

Tantangan lain dalam gerakan sosial adalah keterlibatan pendukung dari luar kelompok yang diperjuangkan. Dari sudut pandang teori mobilisasi sumber daya, dukungan dari luar menguntungkan karena meningkatkan jumlah peserta gerakan. Namun, dari perspektif identitas kolektif, ada risiko bahwa orang luar dapat mengubah arah gerakan jika mereka terlalu berpengaruh dalam pengambilan keputusan.

Meskipun identitas menjadi faktor penting dalam gerakan sosial, bukan berarti gerakan sosial modern telah meninggalkan isu ketidaksetaraan. Memang, beberapa gerakan seperti LGBT dan gerakan agama baru lebih berfokus pada pengakuan identitas. Namun, sebagian besar gerakan saat ini tetap memperjuangkan keadilan dan kesetaraan, seperti Occupy Wall Street Movement, Black Lives Matter, dan Global Justice Movement.

Framing Theory

Para ahli gerakan sosial menyadari bahwa framing adalah tugas penting dalam suatu gerakan. Oleh karena itu, mereka mengembangkan teori pembingkaian (framing theory) untuk memahami bagaimana gerakan sosial dapat membentuk arah dan kesuksesannya. Berdasarkan analisis bingkai (frame analysis) dari Erving Goffman, para peneliti mengidentifikasi tiga jenis bingkai utama yang berperan dalam gerakan sosial: diagnostic frames, prognostic frames, and motivational frames.

  • Bingkai diagnostik (diagnostic frames) membantu gerakan sosial mengidentifikasi masalah yang ingin mereka selesaikan. Bingkai ini tidak hanya menjelaskan apa masalahnya, tetapi juga siapa yang bertanggung jawab atas masalah tersebut.
  • Bingkai prognostik (prognostic frames) digunakan untuk merumuskan solusi terhadap masalah yang telah diidentifikasi. Pada tahap ini, gerakan sosial menentukan tujuan utama serta strategi dan taktik yang akan digunakan untuk mencapainya, seperti perubahan kebijakan atau demonstrasi.
  • Bingkai motivasional (motivational frames) berperan dalam menjaga semangat anggota gerakan serta menarik peserta baru. Bingkai ini membangun narasi yang menginspirasi dengan menekankan pencapaian gerakan agar anggotanya merasa bahwa perjuangan mereka membawa perubahan nyata. Contohnya adalah World Social Forum, sebuah gerakan aktivis keadilan sosial yang berupaya menciptakan perubahan di tingkat global. Selain itu, bingkai motivasional sering kali menggunakan slogan atau frasa menarik yang dapat digunakan dalam aksi publik, seperti dalam spanduk atau seruan dalam demonstrasi, untuk meningkatkan daya tarik gerakan dan memperluas partisipasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Human Rights and Foreign Policy (HAM dalam Hubungan Internasional: Week 2)

Review Film "The Burning Season: The Chico Mendes Story"

Fakta Tentang Yaman