Evolution of Social Movement (ch.2)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Classical and Contemporary Conventional Theories of Social Movements
Gerakan sosial adalah bentuk aksi kolektif
yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mendorong atau menolak perubahan
sosial dengan menggunakan strategi dan taktik non-institusional (Unconventional
Politics). Gerakan ini sering kali muncul sebagai respons terhadap
ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial, dengan tujuan menciptakan perubahan
yang lebih adil bagi masyarakat.
Sebelum tahun 1960-an, kajian akademis
tentang gerakan sosial di Amerika Serikat masih sangat terbatas. Banyak ahli
yang menganggapnya sebagai fenomena sampingan tanpa signifikansi besar. Namun,
dengan meningkatnya aktivisme sosial pada dekade 1960-an serta kebangkitan
perspektif konflik, para akademisi mulai memberikan perhatian yang lebih serius
terhadap gerakan sosial. Seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap gerakan
sosial, para akademisi mulai mengembangkan berbagai teori untuk menjelaskan
kemunculan, organisasi, dan struktur gerakan sosial.
Beberapa teori utama yang muncul dalam
studi gerakan sosial meliputi teori deprivasi relatif (relative deprivation),
mobilisasi sumber daya (resource mobilization), peluang politik (political
opportunity), gerakan sosial baru (new social movements), dan framing. Meskipun teori-teori ini terkadang dianggap sebagai penjelasan
yang saling bersaing mengenai kemunculan dan perkembangan gerakan sosial, sebenarnya
masing-masing teori memberikan wawasan unik yang dapat diterapkan pada jenis
gerakan sosial tertentu atau fase perkembangan yang berbeda.
Classical Conventional Theories of Social Movements
Revolusi
Prancis menjadi salah satu peristiwa bersejarah yang paling berpengaruh dalam
membentuk pemikiran tentang gerakan sosial. Salah satu tokoh utama yang
menginspirasi revolusi ini adalah Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf
dan teoritikus politik abad ke-18. Melalui karyanya The Social Contract,
Rousseau menekankan bahwa pemerintahan seharusnya dibentuk oleh rakyat dan
keputusan kebijakan tidak boleh hanya ditentukan oleh raja atau ratu. Ide-ide
Pencerahan yang dikembangkannya mendorong tumbuhnya gagasan tentang demokrasi
dan kebebasan, yang kemudian menjadi landasan bagi munculnya Revolusi Prancis.
Pada
akhir 1700-an, rakyat Prancis bangkit melawan sistem yang dianggap tidak adil
dan memperjuangkan kebebasan, kesetaraan, serta perwakilan politik.
Revolusi ini tidak hanya berhasil menggulingkan monarki di Prancis, tetapi juga
menginspirasi perubahan besar di seluruh Eropa. Sistem feodalisme dihapuskan
dan digantikan oleh prinsip-prinsip pencerahan (enlightment) dan liberalisme. Namun,
di tengah euforia perubahan, Napoleon Bonaparte merebut kekuasaan melalui
kudeta dan mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin tertinggi. Meski ia tetap
membawa beberapa nilai Revolusi Prancis, ekspansi militer dan ambisinya
membangun kekaisaran justru melemahkan prinsip-prinsip demokrasi yang
diperjuangkan sebelumnya.
Setelah
Revolusi Prancis dan pemerintahan otoriter Napoleon, pemikiran tentang gerakan
sosial berkembang ke arah yang lebih beragam.
Sebagian akademisi percaya bahwa mobilisasi dari akar rumput (bottom-up)
adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih baik, sementara yang lain
lebih memilih sistem hierarki dari atas ke bawah (top-down) sebagai
model yang lebih efektif.
Utopian Socialism Versus Elite Theory
Sosialisme Utopis
(Utopian Socialism) adalah sebuah gerakan pada abad
ke-19 yang mendukung pembentukan komunitas yang berlandaskan prinsip
sosialisme. Berbeda dengan pendekatan revolusioner, gerakan ini lebih
mengedepankan inisiatif sukarela dalam skala kecil. Meskipun demikian,
sosialisme utopis tetap menekankan mobilisasi akar rumput serta mendorong
berbagai reformasi sosial progresif. Beberapa tokoh utama dalam gerakan ini
adalah para pemikir Prancis yang kemungkinan besar terinspirasi oleh Revolusi
Prancis, seperti Charles Fourier, Etienne Cabet, dan Henri de Saint-Simon.
Sebaliknya, Teori Elit
(Elite Theory) muncul sebagai perspektif akademis pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20 dengan pandangan bahwa sebagian besar masyarakat seharusnya
dijalankan oleh sekelompok kecil elit. Para pendukung teori ini termasuk
pemikir Italia seperti Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michels.
Teori ini secara umum bersikap skeptis terhadap mobilisasi akar rumput dan
gerakan sosial. Teori elit berpendapat bahwa hanya orang-orang tertentu yang
memiliki keterampilan dan posisi sosial, baik melalui warisan maupun prestasi,
yang layak memimpin masyarakat, sementara rakyat/masyarakat seharusnya
mengikuti tanpa mempertanyakan sistem yang ada. Dalam dunia politik, teori ini
menjadi dasar ideologi rezim fasis totaliter pada pertengahan abad ke-20 yang
menyebabkan kehancuran besar selama Perang Dunia II.
Dalam perbandingannya, sosialisme
utopis mendukung gerakan sosial meskipun dalam skala kecil dan menekankan
pentingnya mobilisasi akar rumput untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil.
Sebaliknya, teori elit bersikap kritis terhadap gerakan sosial dan
justru berpendapat bahwa masyarakat harus tunduk pada aturan yang ditetapkan
oleh pemimpin elit yang dianggap lebih unggul.
Early Sociological Views of Social Movements
Karl Marx,
sebagai pencetus paradigma konflik (conflict paradigm), memiliki
pandangan positif terhadap gerakan sosial. Marx sangat mendukung mobilisasi
kelas pekerja dan menyerukan revolusi yang dipimpin oleh kaum buruh.
Max Weber
tidak banyak membahas gerakan sosial secara langsung. Namun, beberapa karyanya
memberikan petunjuk mengenai pandangannya terhadap mobilisasi dan perubahan
sosial. Dalam analisisnya tentang birokrasi, Weber mengakui bahwa sistem
birokrasi dapat membuat individu merasa terasing. Meskipun demikian, ia tidak
menganjurkan perubahan sistem karena menurutnya, usaha untuk mengubahnya akan
sia-sia. Weber juga menekankan bahwa ilmu sosial bersifat subjektif, tetapi
para ilmuwan sosial harus tetap menjaga objektivitas dan tidak terlibat dalam
aktivisme sosial maupun kebijakan publik.
Georg Simmel,
sebagai teoretikus klasik lainnya, membahas dinamika hubungan sosial antara
kelompok yang bersaing, seperti buruh dan pemilik modal. Dalam The Web of
Group Affiliations, ia mengeksplorasi bagaimana kesadaran akan kesamaan
posisi ekonomi dapat mendorong pembentukan kelompok berbasis kelas. Simmel
menyoroti bagaimana kaum pekerja membentuk serikat buruh untuk memperjuangkan
kondisi kerja yang lebih baik. Meskipun ia tidak secara eksplisit menghubungkan
pembentukan kelompok ini dengan gerakan sosial, ia mengakui bahwa organisasi
buruh memiliki peran penting dalam perlawanan terhadap kelas kapitalis.
Emile Durkheim, sebagai pemikir yang hidup beberapa generasi setelah Revolusi Prancis, Durkheim cenderung menolak perubahan sosial yang cepat dan mendukung stabilitas sosial. Ia percaya bahwa individu harus mematuhi norma sosial dan tidak mendukung adanya penyimpangan, apalagi gerakan yang menantang tatanan yang ada. Baginya, struktur sosial yang ada harus tetap dipertahankan, bahkan bagi mereka yang berada dalam kondisi kurang menguntungkan. Pemikiran Durkheim menjadi dasar bagi paradigma fungsionalis (functionalist paradigm). Menurut perspektif fungsionalis ini, mempertahankan status quo dianggap sebagai hal yang paling penting, sementara gerakan sosial sering kali dipandang sebagai gangguan yang tidak diinginkan dalam sistem sosial yang sudah berfungsi.
Contemporary Conventional Theories of Social Movements
Dengan bangkitnya kembali
paradigma konflik dalam sosiologi, masalah-masalah sosial tidak lagi diabaikan
atau disembunyikan. Sebaliknya, semakin banyak pengakuan bahwa masyarakat
Amerika dipenuhi dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Seiring dengan itu,
upaya untuk mengubah sistem melalui gerakan sosial menjadi perhatian utama para
akademisi progresif. Generasi baru sosiolog mulai melihat gerakan sosial
sebagai bentuk aksi politik yang sah dan menganggap para pesertanya sebagai
aktor yang rasional.
Relative Deprivation, Strain Theory
Menurut teori
deprivasi relatif, ketidaksetaraan sosial adalah penyebab utama munculnya
gerakan sosial. Teori deprivasi relatif menyampaikan beberapa klaim yang patut
diperhatikan. Pertama, teori ini mengadopsi konsep dari teori ketegangan (strain
theory) oleh Robert K. Merton, yang menyatakan bahwa ketegangan struktural
dapat mendorong individu untuk berpikir di luar kebiasaan dalam mencari solusi
atas masalah sosial. Akibatnya, gerakan sosial dan politik non-konvensional
menjadi salah satu alternatif yang dipertimbangkan oleh masyarakat dalam
menangani ketidakpuasan mereka.
Selain itu, teori
deprivasi relatif menekankan bahwa bukan sekadar ketidaksetaraan yang
menyebabkan munculnya gerakan sosial, tetapi persepsi subjektif (subjective
perceptions of inequality) terhadap ketidaksetaraan. Orang harus menyadari
bahwa ada ketidakadilan dan merasa bahwa mereka berada dalam posisi yang
dirugikan agar dapat termobilisasi. Hal ini mengacu pada pemikiran Karl Marx
bahwa kelas pekerja harus mengatasi kesadaran palsu sebelum mereka dapat
bersatu untuk melakukan mobilisasi.
Resource Mobilization Theory
Teori mobilisasi
sumber daya berpendapat bahwa sumber daya memiliki
peran penting dalam munculnya dan bertahannya gerakan sosial. Dalam konteks
ini, “sumber daya” dapat mencakup berbagai aspek, tetapi yang paling sering
disebut adalah sumber daya manusia (aktivis, pemimpin, dan sebagainya)
serta sumber daya ekonomi (jaringan, dukungan finansial, dan lainnya).
Sumber daya
manusia dapat dikatakan sebagai elemen paling
krusial dalam sebuah gerakan sosial. Hal ini berlaku di semua tingkatan
gerakan. Jumlah individu yang cukup dalam suatu gerakan sangat penting,
tetapi memiliki pemimpin yang tepat juga menjadi faktor esensial. Jumlah
individu yang besar dapat menjadi sinyal bagi pihak luar seperti pembuat
kebijakan dan masyarakat umum bahwa gerakan tersebut memiliki dukungan luas.
Memiliki sejumlah aktivis inti yang memadai juga membantu dalam membentuk
kepemimpinan yang stabil dan konsisten. Pemimpin memiliki peran penting
dalam gerakan sosial. Meskipun banyak gerakan menghindari struktur hierarkis
dari atas ke bawah, keberadaan juru bicara yang karismatik tetap menguntungkan
karena mereka dapat menentukan arah dan keberlanjutan gerakan.
Selain sumber daya
manusia, sumber daya ekonomi juga memegang peran penting dalam gerakan
sosial. Gerakan sosial umumnya terdiri dari kelompok yang memiliki keterbatasan
sumber daya, yang membuat mereka memilih jalur perjuangan non-konvensional
dibandingkan menyewa pelobi atau menghubungi pembuat kebijakan secara langsung.
Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh teori deprivasi relatif, ketimpangan
sosial sering kali menjadi motivasi utama seseorang untuk terlibat dalam gerakan
sosial. Namun, tetap memiliki sejumlah sumber daya sangatlah penting.
Paradoks ini dapat dijelaskan melalui pola “U-terbalik (Inverse-U)”, yaitu hubungan antara sumber daya dan kemunculan gerakan sosial yang mengikuti kurva berbentuk U terbalik. Dalam pola ini, ada titik keseimbangan yang disebut “Zona Goldilocks”, yaitu kondisi di mana gerakan sosial paling mungkin terbentuk dan berhasil. Dengan memiliki sumber daya dalam jumlah cukup, gerakan dapat berkembang tanpa kehilangan motivasi untuk berjuang.

- Jika sumber daya sangat sedikit, gerakan sulit terbentuk karena kekurangan tenaga, dana, atau akses untuk mengorganisir aksi.
- Jika sumber daya cukup, peluang terbentuknya gerakan sosial meningkat karena ada dukungan yang cukup untuk mobilisasi dan advokasi.
- Jika sumber daya terlalu banyak, gerakan sosial justru kehilangan urgensinya karena kelompok yang diuntungkan tidak perlu menggunakan metode perjuangan non-konvensional untuk mencapai tujuan mereka.
Sumber daya
ekonomi juga penting bagi gerakan sosial karena
pada dasarnya gerakan sosial terdiri dari organisasi. Para akademisi menyebut
kelompok-kelompok ini sebagai organisasi gerakan sosial atau SMO (Social
Movement Organizations). Agar dapat beroperasi, setiap organisasi, termasuk
SMO, membutuhkan sumber daya. Mereka memerlukan koneksi dengan entitas yang
sudah mapan untuk mendapatkan akses ke ruang pertemuan, teknologi (seperti
mikrofon dan pengeras suara), liputan media, dan sebagainya. Selain itu, mereka
juga membutuhkan sumber daya ekonomi untuk membeli perlengkapan dasar serta
kebutuhan lain yang lebih mahal seperti transportasi untuk menghadiri aksi.
Political Opportunity/Process Theory
Teori
Peluang Politik menjelaskan bahwa
gerakan sosial lebih mungkin muncul dan sukses ketika ada kesempatan dalam
situasi politik. Artinya, kondisi politik sangat memengaruhi terbentuknya
gerakan sosial. Namun, seperti dalam teori mobilisasi sumber daya, ada
kontradiksi yang tampak dalam teori peluang politik. Orang-orang bergabung
dalam gerakan sosial karena mereka tidak memiliki akses ke institusi
politik dan alat kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok elit. Mereka tidak
memiliki peluang politik yang tersedia bagi orang kaya dan berpengaruh,
sehingga mereka harus mencari perubahan melalui cara non-institusional, seperti
gerakan sosial. Untuk memahami hubungan ini, kita dapat menggunakan pola “U-terbalik”
dalam menjelaskan hubungan antara peluang politik dan kemunculan serta
keberhasilan gerakan sosial:

- Jika peluang politik terlalu sedikit, gerakan sosial sulit terbentuk atau sukses. Pemerintah, yang memiliki alat represif seperti militer dan kepolisian, dapat menekan mobilisasi dengan kekerasan yang dilegalkan negara.
- Jika peluang politik terlalu besar, kebutuhan akan gerakan sosial berkurang. Dalam kondisi politik yang sangat terbuka, para aktivis dapat menggunakan cara institusional seperti melobi anggota parlemen daripada membentuk gerakan sosial.
- Di antara dua kondisi inilah (peluang politik tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu besar), dengan adanya beberapa peluang politik tetapi tidak akses penuh, gerakan sosial paling mungkin terbentuk dan berhasil.
“New Social Movements,” Collective Identity Theory
Seiring
berjalannya waktu, muncul gerakan baru yang tidak selalu berpusat pada
ketidaksetaraan, melainkan pada pengakuan identitas. Misalnya, gerakan
lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) lebih berfokus pada hak-hak
hukum dan sosial, seperti pernikahan sesama jenis dan hak adopsi, dibandingkan
kesenjangan ekonomi. Demikian pula, gerakan agama baru lebih berkaitan dengan
pengakuan hukum dan upaya menghindari stigma sebagai "kultus"
dibandingkan dengan ketidaksetaraan struktural.
Karena
semakin banyak gerakan yang menitikberatkan pada identitas, muncul teori
gerakan sosial baru yang mengadopsi konsep identitas kolektif.
Identitas selalu menjadi faktor penting dalam mobilisasi gerakan sosial,
terutama dalam menentukan siapa yang diwakili oleh gerakan tersebut. Dalam
beberapa kasus, seperti gerakan buruh, identitas kolektifnya jelas, yakni kelas
pekerja. Namun, dalam gerakan lain, seperti Arab Spring, batas identitasnya
lebih kabur.
Tantangan lain dalam
gerakan sosial adalah keterlibatan pendukung dari luar kelompok
yang diperjuangkan. Dari sudut pandang teori mobilisasi sumber daya,
dukungan dari luar menguntungkan karena meningkatkan jumlah peserta gerakan.
Namun, dari perspektif identitas kolektif, ada risiko bahwa orang luar
dapat mengubah arah gerakan jika mereka terlalu berpengaruh dalam pengambilan
keputusan.
Meskipun identitas
menjadi faktor penting dalam gerakan sosial, bukan berarti gerakan sosial
modern telah meninggalkan isu ketidaksetaraan. Memang, beberapa gerakan seperti
LGBT dan gerakan agama baru lebih berfokus pada pengakuan
identitas. Namun, sebagian besar gerakan saat ini tetap memperjuangkan keadilan
dan kesetaraan, seperti Occupy Wall Street Movement, Black Lives Matter, dan Global Justice Movement.
Framing Theory
Para ahli gerakan sosial menyadari bahwa framing adalah tugas penting dalam suatu gerakan. Oleh karena itu, mereka mengembangkan teori pembingkaian (framing theory) untuk memahami bagaimana gerakan sosial dapat membentuk arah dan kesuksesannya. Berdasarkan analisis bingkai (frame analysis) dari Erving Goffman, para peneliti mengidentifikasi tiga jenis bingkai utama yang berperan dalam gerakan sosial: diagnostic frames, prognostic frames, and motivational frames.
- Bingkai diagnostik (diagnostic frames) membantu gerakan sosial mengidentifikasi masalah yang ingin mereka selesaikan. Bingkai ini tidak hanya menjelaskan apa masalahnya, tetapi juga siapa yang bertanggung jawab atas masalah tersebut.
- Bingkai prognostik (prognostic frames) digunakan untuk merumuskan solusi terhadap masalah yang telah diidentifikasi. Pada tahap ini, gerakan sosial menentukan tujuan utama serta strategi dan taktik yang akan digunakan untuk mencapainya, seperti perubahan kebijakan atau demonstrasi.
- Bingkai motivasional (motivational frames) berperan dalam menjaga semangat anggota gerakan serta menarik peserta baru. Bingkai ini membangun narasi yang menginspirasi dengan menekankan pencapaian gerakan agar anggotanya merasa bahwa perjuangan mereka membawa perubahan nyata. Contohnya adalah World Social Forum, sebuah gerakan aktivis keadilan sosial yang berupaya menciptakan perubahan di tingkat global. Selain itu, bingkai motivasional sering kali menggunakan slogan atau frasa menarik yang dapat digunakan dalam aksi publik, seperti dalam spanduk atau seruan dalam demonstrasi, untuk meningkatkan daya tarik gerakan dan memperluas partisipasi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar